Senin, November 17, 2008

bayang TITIK


Pagiku hadir tanpa binar
Kakiku meniti lantai dengan warna memudar
Berjalan terseok..
Sambil menjilati kepingan embun, permata kelam
Pahit..
Manis hanya sekelebat datang mencibir
Memaknai keputusasaan

Dan asaku masih saja berkubang
Lumpur semakin pekat terwarnai bimbang
Kacau..
Tak banyak udara bisa kuhirup
Dadaku semakin sesak, nafasku tersengal..
Seakan lubang kubur tlah terbuka lebar
1 ”harap” lagi hampir siap disemayamkan

Kamis, September 18, 2008

20.07.2007 di Kampoenk Irian



Tahun ini, tanggal ulang tahunku begitu cantik angkanya. 20, bulan 07, tahun 2007. Bilangan yang istimewa ini kurayakan dengan sebuah perjalanan kesuatu tempat yang juga istimewa. Kampung irian, itu sebutan yang diberikan untuk sebuah tempat yang eksotik di kawasan Malang selatan. Rupanya belum banyak orang yang mengetahui kampung irian, ini saja kali pertama aku melihatnya. Tempat ini berupa beberapa bangunan rumah kayu yang terhampar di atas pantai. Rumah-rumah ini dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Papua. Ooh..rupanya karena itu namanya Kampung irian. Tapi jangan salah, mereka adalah orang yang sangat ramah. Untuk sampai kesana, aku menempuh perjalanan panjang dengan beberapa kali ganti angkutan. Perjalanan itu masih ditambah dengan jalan setapak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi semua itu tertebus dengan pemandangan yang begitu indah. Sepanjang berjalan, aku melewati tempat pelelangan ikan yang cukup besar, hamparan pantai yang luas, rawa, sampai akhirnya pada sebuah jembatan kayu yang merupakan jalan menuju salah satu rumah di kampung irian.Malam ini aku mendapat kehormatan dengan diberi ijin untuk bermalam di salah satu rumah. Aku memanggil si ibu pemilik rumah dengan sebutan mamak. Tak hanya ramah, mamak juga begitu baik hingga mau mengajariku cara membakar ikan tuna dan membuat sambal ala papua. Sungguh menyenangkan..Mereka ini orang-orang yang hebat. Di kala malam, mereka masih saja lihai memainkan tombak kayu untuk menangkap ikan di Pantai. Tak tanggung-tanggung, merekapun lihai memasak ikan-ikan itu menjadi sajian yang lezat. Anak-anak mereka juga menyenangkan. Ada saja tingkahnya yang bisa membuat orang tertawa. Untuk mencapai rumah lainnya, anak-anak ini seringkali menggunakan kano. Meski masih terbilang kecil, anak-anak ini sudah lihai bermain di atas air. Ya,tentunya itu sebagai konsekuensi terhadap lingkungan mereka yang berada di atas perairan.Kawasan ini juga menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pencari ikan. Para nelayan itu datang dikala siang untuk istirahat dan akan pergi lagi dikala malam. Sungguh kehidupan pantai yang begitu kental.Detik-detik yang indah itu mengalir begitu saja, sampai tiba pukul 00.00 tanggal 20.07.2007. Dia mengajakku ke teras rumah. Dari teras yang terhampar di atas pantai itu, aku bisa melihat keindahan malam yang mempesona. Langit seperti hamparan hitam maha luas yang dihiasi manik-manik bintang berkerlipan. Sinar rembulan terpantul bagai kerlipan intan di hamparan perairan. Udara yang tidak terlalu dingin menyapa lembut, memenuhi ruang-ruang hati yang dipenuhi kolaborasi rasa haru dan takjub.Anak-anak irian itu juga ada disana, bersama anjing dan kucing mereka yang akur. Mereka menyalakan lilin di atas potongan kayu. Dengan suara bangun tidur, mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun, yang entah kenapa seperti baru pertama kali kudengar. Dini hari itu, pergantian usiaku dirayakan dengan tuna party, hasil karya sendiri yang diajarkan oleh mamak plus dengan sambal khas papua
Aku memang tak lama berada disana, tapi aku sudah sangat cukup untuk dibuat takjub dengan segala yang ada disana. SubhanallaH..Thank’s buat viE, mamak dan semua keluarga di kampunk irian

Menengok Yadna Kasada di Kawasan Bromo

Perjalanan ini kutempuh pada Senin, 15 september 2008. Perjalanan yang menyenangkan karena dipenuhi semangat ingin tahu tentang Kasada. Upacara ini diselenggarakan 1 tahun sekali oleh suku tengger di kawasan Gunung Bromo, tepatnya pada hari ke-14 bulan kasada.

Menurut cerita, asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng. Ketika menjelang dewasa, sang putrid ini mendapatkan pasangan seorang pemuda dari kasta Brahma yang bernama Joko Seger.
Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan
dengan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur. Sebagian dari mereka menuju kawasan Pegunungan Tengger, termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Nama Tengger
ini diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.

Dari waktu ke waktu, masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia. Setelah sekian lama berumah tangga, pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger belum juga dikaruniai keturunan. Karena itu, mereka memutuskan naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Ketika semedi, mereka mendengar suara gaib yang mengatakan bahwa permohonan mereka akan terkabul, namun dengan syarat, yakni bila telah mendapat keturunan, anak bungsu mereka harus dikorbankan ke kawah gunung bromo. Mereka menyanggupinya, dan kemudian mereka mendapatkan 25 orang putra putri. Tapi naluri orang tua membuat mereka tidak tega mengorbankan putranya. Mereka ingkar janji dan Dewa menjadi marah sehingga terjadilah prahara. Keadaan menjadi gelap gulita dan kawah Gunung bromo menyemburkan api. Kesuma, anak bungsu mereka lenyap terjilat api dan masuk ke kawah Gunung Bromo. Pada saat itu, terdengarlah suara gaib :"Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo.

Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Kami melaju di hamparan pasir yang begitu luas untuk bisa sampai di lereng Gunung Bromo. Tangga menuju Puncak Bromo yang menurut mitos tidak bisa dihitung dengan bilangan yang sama itu, telah dipenuhi oleh beragam orang. Saking banyaknya orang, kami harus melangkah satu demi satu dan berdesakan. Percaya tidak, antrean ini lebih padat dari kemacetan di jalan A.Yani..







Tak lama, kami berhasil juga sampai di Puncak Bromo. Dari salah satu sisinya, kami bisa melihat pemandangan yang disebut hanya terjadi pada saat Kasada. Di sekitar kawah bRomo yang masih mengeluarkan asap itu, telah banyak pengemis dan atau suku tengger pedalaman yang telah bersiap dari pagi. Mereka melengkapi diri mereka dengan sarung, bahkan bago/sak untuk menangkap sesaji yang dilemparkan ke kawah Bromo. Ada macam-macam sesaji yang dilempar, ada buah-buahan, sayuran, ayam, kambing. Bahkan ada yang melempar buku beserta pensil dengan meminta doa agar anaknya bisa lancar sekolah. Ada juga yang melempar uang koin atau sesaji bunga terbungkus daun yang ternyata didalamnya terselip uang ribuan.







Tapi rupanya ritual upacara Kasada terdiri dari beberapa kegiatan. Sehari sebelumnya, yakni tanggal 14, suku Tengger akan menggelar upacara mepek, yakni upacara minta izin (pamitan) kepada yang Mahakuasa Hyang Widi Wasa. Selanjutnya pada 15 September siang suku Tengger melaksanakan upacara Tayuban di Pakis Bincil di bibir kaldera Gunung Bromo.

Sebelum Puncak upacara Kasada, dilakukan upacara Mendak Tirta (mengambil air suci) di sumber-sumber air di kawasan Gunung Bromo.

Upacara Mendak Tirta bagi warga suku Tengger Brang Kulon yang masuk wilayah Kabupaten Pasuruan dilaksanakan di sumber air Gunung Widodaren di gugusan Gunung Bromo, sedangkan suku Tengger Brang Wetan yang masuk wilayah Kabupaten Probolinggo akan melaksanakan upacara itu di Air Terjun Madakariupura. Warga suku Tengger yang ada di Lumajang dan Malang melakukan upacara Mendak Tirta di Danau Ranu Pane kaki Gunung Semeru. Air suci yang diambil dari berbagai sumber di kawasan pegunungan itu kemudian dibawa ke Pura Agung Poten di kawasan kawah Gunung Bromo sebagai kelengkapan upacara Yadnya Kasada.

Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pukul 24.00, diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di Poten Lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan. Sebelum dilantik, para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.

Puncaknya, setelah upacara selesai, ongkek-ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki Gunung Bromo ke atas kawah. Seluruh warga suku Tengger di Gunung Bromo yang meliputi wilayah Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang melaksanakan larung sejaji ke kawah Gunung Bromo. Upacara korban ini dimaksudkan untuk memohonkan agar masyarakat Tengger diberi berkah dan keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.


Yah, begitulah sekelumit perjalanan kami. Ternyata, Keindahan kawasan wisata Bromo Tengger terlihat semakin eksotik dengan adanya upacara Kasada. Sebelum pulang, kami sempat menyusuri lautan pasir disekitar Gunung Batok untuk bisa sampai ke Pananjakan. Subhanallah..pemandangannya begitu indah.


Thank’s buat eR, say yG dah nemenin, viE&wied yG dah nge-suppOrt

Jumat, Agustus 29, 2008

GOD..oh..GOD..

Tuhan punya jutaan cara untuk menunjukkan “kekuasaan”-NYA
Hari itu kami masiH asik bermain denGan anak2 di camp penampungan. Gerimis sempat datang, tapi senyum mereka tetap mengembang. Anak2 disini cukup banyak, jadi kami harus membagi diri dalam 5 kelompoK. Hari ini aku bertugas bersama aas. Tugas kami menghibur ade2 kelas 4-5 SD, dengan apapun..belajar ataupun bermain. Sungguh kebahagiaan yang tak tergantikan, melihat mereka bisa tertawa lepas, seperti lupa bahwa rumah mereka tlah hanyut oleh banjir bandang dua minggu lalu.
Waktu sudah menunjukkan jam 11 siang. Aku harus pulang, besok ada jadwaL ujian epidemiologi penyakit menular di kampuZ. Dari kota ini, aku harus menempuh ±5 jam untuk bisa sampai di rumah, plus 2 jam lagi untuk sampai di kOzt.
Aku berkemas, mulai berbisik pada seorang teman untuk diantarkan ke terminaL bus. Dia mengangguk, camp ini berjarak cukup jauh dari kota, belum lagi jalannya yang sedikit sulit untuk dilewati. Tenda pertama yang kusinggahi adalah tenda hijau itu, tenda paling besar di penampungan ini. Aku tersenyum pada mereka, ibu2 yang sedang menyelimuti bayi2nya dengan baju2 sumbangan yang kedodoran.
“kok sudah mau pulang, mbak. Masa tega ninggalin kami disini. Kan main2nya juga belum selesai.”
Mata ibu itu sayu, dan entah mengapa mampu membiusku untuk sesaat yang cukup lama. Aku menoleh ke luar tenda, aas tampak kuwalahan mengatur adek2 itu. Yah, tim kami adalah tim pioneer. Belum banyak jumlahnya, apalagi masih musim ujian. Waktu terus berjalan, aku merasa harus segera pulang. Mata kuliah yang diujikan besok adalah salah satu dari sekian mata kuliah yang tidak kupahami dengan benar. Karena aku tidak terlalu suka, mungkin..
Aku harus segera membuka handbook yang sekarang ada di rumah, belajar, atau aku akan mendapatkan nilai jelek dan IPKku turun. Oh no..semester ini banyak mata kuliah yang mbenceknO. Apa jadinya kalo nilai ujianku pada jebLok..
Ibu itu masih saja melihatku. Kini bayinya menangis, membuat raut mukanya, tak hanya matanya, tampak begitu sayu. Ah, aku tak tahan lagi..ku kembalikan tasku ke mobil. Aku berlari ke tenda DU untuk meminta air panas. Kuberikan air itu pada si ibu, berharap ia segera bisa membuatkan susu untuk bayinya. Si ibu melihatku, kini dengan raut bertanya-tanya, atau kaget lebih tepatnya.
Kupakai lagi sepatuku, berlari ke lapangan, tempat dimana aas masih berlari-lari mencoba membuat adek2 itu membentuk lingkaran besar. Aku masuk lagi dalam permainan mereka, dan entah kenapa, aku merasa lebih baik.
Waktu menunjukkan jam 16. Kali ini tak hanya aku yang berpamitan, tapi kami semua. Kami harus kembali ke kota sebelum gelap, karena camp kami disana. Bedanya, mereka akan kembali besok pagi, dan aku tidak akan kembali lagi kesini. Aku memasuki tenda demi tenda, mengucap salam perpisahan dan meminta maaf. Sampai aku masuk ke tenda hijau itu, si ibu tersenyum. Dia bertanya kenapa aku harus pulang, kukatakan bahwa mulai besok aku ada ujian. Gimana lagi, fakultas tidak mengijinkanku mengikuti ijian susulan dengan alasan jadi relawan, batinku. Si ibu tersenyum, kali ini dibarengi dengan senyum ibu2 yang lain. Mereka membalas jabat tanganku, dengan membisikkan doa “moga sukses ya ujiannya”..Amiin, balasku.
Aku berjalan menuju mobil, mereka masih melihat kami dengan senyum. Seorang lelaki berlari menghampiriku, dia memberiku secarik kertas. Surat cinta dari seorang mZ yang bertugas di tenda DU. Ah, ada2 saja, pikirku..
Bus yang kutumpangi berjalan cukup cepat, secepat kegalauanku memikirkan ujian epid yang akan menghajarku besok. Aku memang bukan mahasiswa yang bae, pikirku. Mahasiswa yang baE kan harusnya ga perlu memusingkan ujian, coZ dah belajar sejalan dengan materi yang diberikan.
Jam 21.00, aku baru tiba di rumah. Ini sudah hitungan yang cepat untuk perjalanan bus Jember-Surabaya. Sudah terlalu malam untuk balik ke koZt, dan parahnya, badanku sudah terlalu capek untuk membuka handbook. Aku hanya sempat mandi, berbenah..dan lalu tidur.

Ibu membangunkanku untuk subuh. Aku pasrah, dengan menenteng tas dan memegang handbook epid, aku diantar oleh seseorang ke koZt. Ujianku terjadwal jam 8 pagi ini. Hanya 2 jam, yah..semoga saja aku beruntung. Aku sempat membuka beberapa halaman secara acak untuk kubaca dengan bae, berharap otakku mampu mengingatnya.
Dengan terus mengucap doa dalam hati, aku memasuki ruangan ujian. Semuanya sibuk mencari tempat, seperti hari2 ujian biasanya. Posisi menentukan prestasi, katanya. Aku duduk di bangku ke 67, bangku yang telah disiapkan oleh temanku. Ujian dimulai, 3 dosen berwira-wiri menjaga kami yang 114 ini. Puji Tuhan, soal multiple choice bisa terjawab dengan mudah. Dan soal uraian itu..untung saja otakku bisa mengingatnya dengan bae, karena materi itu adalah materi di halaman acak yang kubaca.
Tuhan Maha Bae..Dia selalu punya cara untuk menunjukkan kuasa-NYA. Ga tanggung2, Aku mendapat nilai A untuk mata kuliah ini. Hm,.rupanya Tuhan mendengar do’a ibu2 di camp penampungan..
Terima kasih, ibu..

SALUT “IDE” FESTIVAL BLOG

buLan lalu, aku mendengaR kabar adanya festivaL blog ini daRi seOrang sepupu. Dia baru duduk di keLas 3 smp..atO kelas 9 kalo itunGan yanG dipake sekarang. Itu hal yanG biasa, karena dia memanG biasa menceRitakan apapun padaKu.
Yang luar biasa adaLah..betapa festivaL ini membeRi pengaRuh yang begitu besaR pada semangatnya. Dia belum peRnah mengenaL yang namanya bLOg, dia juga jarang menuLis..
Tapi begitu dia mendapat SosiaLisasi festivaL ini di skuL, dia begitu getoL beLajar tentang bLog. Tiap haRi sepuLang kerja, dia selalu aja mencercaKu dengan banyak pertanyaan tentang bLOg. Dia juga muLai lembur sampai larut malam untuk memainkan jarinya di keyboard komputer.
Aku ga tahu pasti, apa yang dia tuLis di dalam blognya. Aku juga tidak memberiknya banyak infO tentang bLOg . Tapi, sebuah senyum yang tersungging tiap hari ini sudaH cukup untuk memaknakan keharuan atas semangatnya yang kembaLi berKobar.
Hm, setiap oranG selalu punya cara sendiRi..
Dan siapapun yanG memilih cara ini..
Aku mo bingkiskan sebuah kata terima kasih, berpitakan rasa saLut untuk idenya..

Kamis, Agustus 28, 2008

PERILAKU SEKS BEBAS ANAK PEREMPUAN JALANAN DI TERMINAL PURABAYA

Abstrak - 2007

Perilaku seks bebas anak perempuan jalanan perlu mendapat perhatian yang serius mengingat resiko yang mereka tanggung lebih berat dibandingkan anak laki-laki. Selain itu, mereka adalah aset bangsa yang perlu dipersiapkan sedini mungkin untuk menjadi generasi penerus bangsa yang berguna. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku seks bebas anak perempuan jalanan yang bekerja di terminal Purabaya.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Responden adalah anak perempuan jalanan yang pernah melakukan seks bebas dan dipilih dengan metode snowball sampling. Responden berjumlah 13 orang, berumur 14 - 18 tahun dan bekerja sebagai pengamen. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan menggunakan alat bantu pedoman wawancara serta recorder. Data dianalisis domain, analisis taksonomi, analisis komponen dan analisis tema.
Responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang seks bebas. Mereka mengartikan seks bebas sebagai hubungan seks dengan berganti- ganti pasangan. Definisi ini membuat mereka tidak menyadari bahwa perilaku mereka termasuk dalam seks bebas. Akibat dari seks bebas yang diketahui oleh responden adalah kehamilan dan HIV/AIDS. Responden sependapat untuk tetap melahirkan jika terjadi kehamilan. Bagi responden, kelompok sebaya memiliki peran terhadap perilaku seks bebas. Responden memiliki sikap yang permisif terhadap seks bebas yang dilakukan atas dasar suka dan tanpa paksaan. Responden memiliki niat untuk melakukan seks bebas dan belum ada yang memiliki niat untuk berhenti. Responden melakukan tindakan seks bebas dengan pacarnya di emperan toko, belakang pertokoan, mobil, rumah tetangga, kontrakan dan di belakang terminal.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku seks bebas anak perempuan jalanan di terminal Purabaya ditentukan oleh pengetahuan tentang seks bebas yang rendah, peran kelompok sebaya, sikap responden yang permisif terhadap seks bebas dan niat responden untuk melakukan seks bebas.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan badan, dinas, instansi dan organisasi terkait dapat meningkatkan upaya promotif kepada anak jalanan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Diharapkan juga ada perkumpulan mahasiswa yang peduli dengan anak jalanan serta penelitian lain tentang metode edukasi yang sesuai bagi anak jalanan.

Kamis, Agustus 14, 2008

Menuju Liank..

Pagiku hadir tanpa binar
Kakiku meniti lantai dengan warna memudar
Berjalan terseok..
Sambil menjilati kepingan embun, permata kelam
Pahit..
Manis hanya sekelebat datang mencibir
Memaknai keputusasaan

Dan asaku masih saja berkubang
Lumpur semakin pekat terwarnai bimbang
Kacau..
Tak banyak udara bisa kuhirup
Dadaku semakin sesak, nafasku tersengal..
Seakan lubang kubur tlah terbuka lebar
1 ”harap” lagi hampir siap disemayamkan