Kamis, September 18, 2008

20.07.2007 di Kampoenk Irian



Tahun ini, tanggal ulang tahunku begitu cantik angkanya. 20, bulan 07, tahun 2007. Bilangan yang istimewa ini kurayakan dengan sebuah perjalanan kesuatu tempat yang juga istimewa. Kampung irian, itu sebutan yang diberikan untuk sebuah tempat yang eksotik di kawasan Malang selatan. Rupanya belum banyak orang yang mengetahui kampung irian, ini saja kali pertama aku melihatnya. Tempat ini berupa beberapa bangunan rumah kayu yang terhampar di atas pantai. Rumah-rumah ini dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Papua. Ooh..rupanya karena itu namanya Kampung irian. Tapi jangan salah, mereka adalah orang yang sangat ramah. Untuk sampai kesana, aku menempuh perjalanan panjang dengan beberapa kali ganti angkutan. Perjalanan itu masih ditambah dengan jalan setapak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi semua itu tertebus dengan pemandangan yang begitu indah. Sepanjang berjalan, aku melewati tempat pelelangan ikan yang cukup besar, hamparan pantai yang luas, rawa, sampai akhirnya pada sebuah jembatan kayu yang merupakan jalan menuju salah satu rumah di kampung irian.Malam ini aku mendapat kehormatan dengan diberi ijin untuk bermalam di salah satu rumah. Aku memanggil si ibu pemilik rumah dengan sebutan mamak. Tak hanya ramah, mamak juga begitu baik hingga mau mengajariku cara membakar ikan tuna dan membuat sambal ala papua. Sungguh menyenangkan..Mereka ini orang-orang yang hebat. Di kala malam, mereka masih saja lihai memainkan tombak kayu untuk menangkap ikan di Pantai. Tak tanggung-tanggung, merekapun lihai memasak ikan-ikan itu menjadi sajian yang lezat. Anak-anak mereka juga menyenangkan. Ada saja tingkahnya yang bisa membuat orang tertawa. Untuk mencapai rumah lainnya, anak-anak ini seringkali menggunakan kano. Meski masih terbilang kecil, anak-anak ini sudah lihai bermain di atas air. Ya,tentunya itu sebagai konsekuensi terhadap lingkungan mereka yang berada di atas perairan.Kawasan ini juga menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pencari ikan. Para nelayan itu datang dikala siang untuk istirahat dan akan pergi lagi dikala malam. Sungguh kehidupan pantai yang begitu kental.Detik-detik yang indah itu mengalir begitu saja, sampai tiba pukul 00.00 tanggal 20.07.2007. Dia mengajakku ke teras rumah. Dari teras yang terhampar di atas pantai itu, aku bisa melihat keindahan malam yang mempesona. Langit seperti hamparan hitam maha luas yang dihiasi manik-manik bintang berkerlipan. Sinar rembulan terpantul bagai kerlipan intan di hamparan perairan. Udara yang tidak terlalu dingin menyapa lembut, memenuhi ruang-ruang hati yang dipenuhi kolaborasi rasa haru dan takjub.Anak-anak irian itu juga ada disana, bersama anjing dan kucing mereka yang akur. Mereka menyalakan lilin di atas potongan kayu. Dengan suara bangun tidur, mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun, yang entah kenapa seperti baru pertama kali kudengar. Dini hari itu, pergantian usiaku dirayakan dengan tuna party, hasil karya sendiri yang diajarkan oleh mamak plus dengan sambal khas papua
Aku memang tak lama berada disana, tapi aku sudah sangat cukup untuk dibuat takjub dengan segala yang ada disana. SubhanallaH..Thank’s buat viE, mamak dan semua keluarga di kampunk irian

Menengok Yadna Kasada di Kawasan Bromo

Perjalanan ini kutempuh pada Senin, 15 september 2008. Perjalanan yang menyenangkan karena dipenuhi semangat ingin tahu tentang Kasada. Upacara ini diselenggarakan 1 tahun sekali oleh suku tengger di kawasan Gunung Bromo, tepatnya pada hari ke-14 bulan kasada.

Menurut cerita, asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng. Ketika menjelang dewasa, sang putrid ini mendapatkan pasangan seorang pemuda dari kasta Brahma yang bernama Joko Seger.
Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan
dengan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur. Sebagian dari mereka menuju kawasan Pegunungan Tengger, termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Nama Tengger
ini diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.

Dari waktu ke waktu, masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia. Setelah sekian lama berumah tangga, pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger belum juga dikaruniai keturunan. Karena itu, mereka memutuskan naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Ketika semedi, mereka mendengar suara gaib yang mengatakan bahwa permohonan mereka akan terkabul, namun dengan syarat, yakni bila telah mendapat keturunan, anak bungsu mereka harus dikorbankan ke kawah gunung bromo. Mereka menyanggupinya, dan kemudian mereka mendapatkan 25 orang putra putri. Tapi naluri orang tua membuat mereka tidak tega mengorbankan putranya. Mereka ingkar janji dan Dewa menjadi marah sehingga terjadilah prahara. Keadaan menjadi gelap gulita dan kawah Gunung bromo menyemburkan api. Kesuma, anak bungsu mereka lenyap terjilat api dan masuk ke kawah Gunung Bromo. Pada saat itu, terdengarlah suara gaib :"Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo.

Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Kami melaju di hamparan pasir yang begitu luas untuk bisa sampai di lereng Gunung Bromo. Tangga menuju Puncak Bromo yang menurut mitos tidak bisa dihitung dengan bilangan yang sama itu, telah dipenuhi oleh beragam orang. Saking banyaknya orang, kami harus melangkah satu demi satu dan berdesakan. Percaya tidak, antrean ini lebih padat dari kemacetan di jalan A.Yani..







Tak lama, kami berhasil juga sampai di Puncak Bromo. Dari salah satu sisinya, kami bisa melihat pemandangan yang disebut hanya terjadi pada saat Kasada. Di sekitar kawah bRomo yang masih mengeluarkan asap itu, telah banyak pengemis dan atau suku tengger pedalaman yang telah bersiap dari pagi. Mereka melengkapi diri mereka dengan sarung, bahkan bago/sak untuk menangkap sesaji yang dilemparkan ke kawah Bromo. Ada macam-macam sesaji yang dilempar, ada buah-buahan, sayuran, ayam, kambing. Bahkan ada yang melempar buku beserta pensil dengan meminta doa agar anaknya bisa lancar sekolah. Ada juga yang melempar uang koin atau sesaji bunga terbungkus daun yang ternyata didalamnya terselip uang ribuan.







Tapi rupanya ritual upacara Kasada terdiri dari beberapa kegiatan. Sehari sebelumnya, yakni tanggal 14, suku Tengger akan menggelar upacara mepek, yakni upacara minta izin (pamitan) kepada yang Mahakuasa Hyang Widi Wasa. Selanjutnya pada 15 September siang suku Tengger melaksanakan upacara Tayuban di Pakis Bincil di bibir kaldera Gunung Bromo.

Sebelum Puncak upacara Kasada, dilakukan upacara Mendak Tirta (mengambil air suci) di sumber-sumber air di kawasan Gunung Bromo.

Upacara Mendak Tirta bagi warga suku Tengger Brang Kulon yang masuk wilayah Kabupaten Pasuruan dilaksanakan di sumber air Gunung Widodaren di gugusan Gunung Bromo, sedangkan suku Tengger Brang Wetan yang masuk wilayah Kabupaten Probolinggo akan melaksanakan upacara itu di Air Terjun Madakariupura. Warga suku Tengger yang ada di Lumajang dan Malang melakukan upacara Mendak Tirta di Danau Ranu Pane kaki Gunung Semeru. Air suci yang diambil dari berbagai sumber di kawasan pegunungan itu kemudian dibawa ke Pura Agung Poten di kawasan kawah Gunung Bromo sebagai kelengkapan upacara Yadnya Kasada.

Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pukul 24.00, diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di Poten Lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan. Sebelum dilantik, para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.

Puncaknya, setelah upacara selesai, ongkek-ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki Gunung Bromo ke atas kawah. Seluruh warga suku Tengger di Gunung Bromo yang meliputi wilayah Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang melaksanakan larung sejaji ke kawah Gunung Bromo. Upacara korban ini dimaksudkan untuk memohonkan agar masyarakat Tengger diberi berkah dan keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.


Yah, begitulah sekelumit perjalanan kami. Ternyata, Keindahan kawasan wisata Bromo Tengger terlihat semakin eksotik dengan adanya upacara Kasada. Sebelum pulang, kami sempat menyusuri lautan pasir disekitar Gunung Batok untuk bisa sampai ke Pananjakan. Subhanallah..pemandangannya begitu indah.


Thank’s buat eR, say yG dah nemenin, viE&wied yG dah nge-suppOrt